Senin, 20 Agustus 2007

wina


Wina mencoba pakaian barunya. Lucu. Bagaimana tidak? Ia sudah terbiasa bercelana jeans dan pakai T Shirt atau pakaian lainnya yang lagi in di kota-kota besar, kini ia harus berpakaian ala gadis desa. Ia berputar-putar di depan cermin, tapi yang tampak hanya sebatas dada ke atas. Cermin yang dipakai Wina memang kecil. Itupun satu-satunya cermin yang ada di rumah bibi Aminah.
Ia sudah bertekad untuk menghilangkan segala ciri kehidupan remaja Jakarta. Ia ingin tampak sederhana dan bisa menyatu dengan alam barunya. Dalam usianya yang muda, Jakarta telah mencampakkan dirinya. Jakarta telah mengenalkan dirinya dengan minuman keras, morpin, dan yang paling menghancurkan dirinya adalah pergaulan bebas muda mudinya. Meski ini sebagian kecil kehidupan remaja Jakarta, tapi nyatanya ia masuk ke bagian kecil tersebut. Pada puncak frustasinya ia hampir saja bunuh diri. Tapi di saat yang kritis itu hidayah Tuhan datang. Ia ingat bibinya yang ada di pelosok desa di wilayah Jawa Timur. Suatu desa yang menawarkan kehidupan yang jauh dari bising dan kebrengsekan kota. Ia ingin memperbarui kehidupan di desa yang tentram ini.
Bulan depan Wina akan sekolah di sekolah barunya yang kondisinya jauh memenuhi syarat. Sebuah SMA swasta yang menempati gedung SD Inpres. Jarak rumah bibi Wina dengan sekolah ini sekitar 10 km.
Wina sekali lagi berputar di depan cermin, kemudian merasa mempunyai kemampuan untuk dengan cepat bisa adaptasi sebagai gadis desa yang lugu. Selama setengah bulan di rumah bibi Aminah ini ia sudah meninggalkan sama sekali make up yang biasa ia pakai ketika di Jakarta. Cuma satu yang belum bisa adaptasi, yaitu potongan rambutnya yang punk rock. Yang satu ini perlu menunggu proses dan ia akan membiarkan tumbuh panjang.
Saat masuk sekolah tiba ia betul-betul sudah siap. Mulai dari baju, sepatu, tas dan buku-buku tampak sederhana. Tapi wajahnya yang memang cantik alami tidak bisa ia sembunyikan. Dan satu hal lagi yang ia tidak bisa menyembunyikannya, logat Jakartanya yang medok.
Pengalaman pertama yang ia peroleh ketika berangkat sekolah naik kendaraan pedesaan. Ia hampir saja terlambat masuk, karena menunggu mobil pedesaan hampir satu jam. Dan ketika masuk di kelas IIA yang muridnya cuma 35 orang ia menangkap bahwa semua mata tertuju kepadanya, dan ada desah nafas yang ditekan. Ia sendiri berusaha menyapa mereka dengan senyum manis.
“Mulai saat ini di kelas kalian ada teman baru. Untuk lebih jelasnya biarlah yang bersangkutan memperkenalkan diri langsung...” begitu pak Sugito yang mengantar Wina dengan bijaksana mempersilakan Wina untuk memperkenalkan diri lebih lanjut. Wina tampak ragu, namun akhirnya ia melangkah ke depan. Ia menunduk beberapa saat.
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh...” ia membuka dengan salam.
“Wa’alaikumsalam...” jawab siswa yang berjumlah 35 itu dengan kompak.
“Bapak guru yang terhormat dan teman-teman yang baik, nama saya Wina umur 18 tahun dan baru sebulan tinggal di kota tercinta ini. Tepatnya di kecamatan Tarik yang jaraknya mungkin kalian lebih tahu daripada saya. Oh, ya... saya pindahan dari sekolah yang jaraknya juga cukup jauh dari sini...” Wina jedah memikir-mikir kalimat berikutnya, tapi ia mendengar dari belakang ada suara menyela, “ Dari Jakarta, ya... ?” dari pertanyaan ini Wina sadar, kendati ia sudah berusaha menutupi ciri-ciri Jakartanya dalam perkenalannya, tapi toh ia belum mampu mengubah logat bicaranya.
“Ya, betul, saya dari Jakarta, tapi bukan kotanya melainkan pinggiran yang suasananya tak jauh beda dengan kota kecamatan ini...” ia terpaksa berbohong biar tak jadi perhatian. “Saya berharap agar saya di sini bisa cepat menyesuaikan diri, untuk ini bantuan dari teman-teman sangat saya harapkan. Saya rasa cukup dan terima kasih. Wassalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh...”
Wina kembali duduk. Satu kesan yang sebelumnya ia duga telah ia peroleh, yaitu teman baru yang lugu dan menyenangkan. Mereka tampak sederhana dan tak banyak tingkah. Kesan ini menjadi kenyataan waktu istirahat tiba, mereka pada rame-rame menjabat tangan Wina dan memperkenalkan diri. Fatimah yang sebangku dengannya bahkan kelewat baik memperkenalkan diri.
Proses akrab Wina dengan teman-teman barunya berjalan lebih cepat dari yang ia perkirakan. Dalam tempo dua minggu tidak hanya siswa di kelasnya saja yang ia kenal, bahkan hampir seluruh penghuni SMA itu. Wina sebetulnya tak menghendaki demikian, sebab hal ini bisa jadi bumerang kalau sampai menimbulkan iri bagi siswa putri lainnya.
Di rumah Wina telah menjadi kembang desa. Tapi ia masih mengurung diri. Ia belum berani bergaul dengan sesama teman remaja desa sebelum logat Jakartanya hilang, namun hal ini berjalan tidak begitu lama, karena ternyata hanya dalam waktu dua bulan ia telah mampu membuang logat Jakartanya. Ia ikut nimbrung di karang taruna dengan penampilan yang klop, tak beda dengan remaja putri lainnya.
Genap setengah tahun sosok Wina telah utuh menjadi remaja teladan, baik di sekolah maupun di desa. Berkat ketekunannya belajar, Wina telah mampu berprestasi di sekolah, dan di karang taruna pun ia tidak sedikit menyumbangkan idenya yang ia lewatkan Atik, tetangganya.
Sementara ibu dan bapaknya terus bersyukur mengikuti perkembangan Wina yang pesat dan positif, meski hanya lewat surat yang dikirimi rutin oleh bibi Aminah. Sebetulnya ayah dan ibu Wina ingin sekali menjenguk Wina, namun Wina tak memperbolehkan. Entah apa alasannya. Akibatnya sebagai curahan rindu dan rasa tanggung jawab kiriman uang untuk pembelian fasilitas belajar dan keperluan lainnya terus mengalir dalam jumlah berlebihan untuk kehidupan yang sangat sederhana. Tapi Wina tak menggunakan uangnya untuk keperluan tersebut. Ia cukup puas dengan apa yang ada di rumah bibi Aminah yang serba sederhana. Uang yang berlebih itu ia simpan di SIMPEDES.
Problem Wina baru timbul saat ia baru naik ke kelas tiga. Saat itu menjelang hari jadi kotanya. Semua temannya, bahkan guru-gurunya mendesak agar Wina mau mengikuti pemilihan GUK dan YUK (semacam Abang dan None Jakarta), Wina keberatan, karena bagainmanapun sederhanya pelaksanaan pemilihan itu masih tetap tampak glamour dan Wina sudah berjanji pada diri sendiri untuk menjauhi segala yang berbau glamour. Sebetulnya mereka tidak berlebihan, karena Wina memang ayu, feminin, supel dan cerdas. Wina sendiri kendati belum punya nama di Jakarta dulu pernah mencoba untuk jadi peragawati dan pernah mengikuti pemilihan abang dan none. Dari sini paling tidak ia sudah mengantongi pengalaman berlenggak-lenggok di atas catwalk.
“Wina, bapak harap Wina mau jadi duta sekolah untuk pemilihan Guk dan Yuk tersebut, Wina cukup punya modal, mengenai cara tampil yang baik bu Titik nanti bisa membimbingmu...” begitu desak kepala sekolah. Wina jadi sulit untuk menjawab. Akhirnya ia tidak memberi keputusan yang pasti, ia bilang perlu minta ijin bibinya dulu.
Satu hal lagi keberatan Wina, ia khawatir luka lamanya akan terungkit, sebab ketika ia mencoba mengikuti pemilihan abang dan none Jakarta, saat itulah awal bencana yang menimpa dirinya. Waktu ia baru memenangkan seleksi tingkat daerah, begitu pengumuman pemenang selesai dan ia sibuk-sibuknya menerima ucapan selamat dari teman-temannya seorang pemuda yang tak ia kenal juga mengucapkan selamat kepadanya dan menggenggam lama tangannya. Pemuda itulah yang seterusnya memperkenalkannya dengan dunia yang sebelumnya tidak ia kenal dan kemudian saat Wina berada di puncak cintanya ditinggal begitu saja. Kini Wina tak ingin peristiwa itu terungkit lagi.
“Wina, kau mutiara, kau bidadari, kau ratu yang tak bermahkota di sekolah kita. Sekolah kita yang tak masuk hitungan dan tak pernah diperhitungkan ini sekali-kali biar diacuhkan orang lain. Dan kami yakin kau mampu berbuat untuk itu...” Ana yang waktu kelas dua kemarin menjadi Wakil Ketua OSIS ikut memberi dorongan ketika mereka pulang sekolah bersama.
“Ana, aku tak senang dengan keglamouran dan penonjolan diri...”
“Aku mengerti Wina, tapi sekali ini bantulah kami...”
“Okelah aku berjanji, kalau ada cerdas cermat atau adu otak lainnya aku siap mencoba. Tapi untuk yang ini tolong dimaafkan dulu...”
Ana sedikit kecewa tak bisa membujuk Wina, tapi ia diam-diam tambah kagum dengan pribadi Wina. Wina betul-betul mutiara di matanya.
Akhirnya sampai pada batas waktu pendaftaran Wina tak mampu menolak desakan teman-temannya dan guru-gurunya.
“Baiklah, mudah-mudahan saya tidak mengecewakan. Tapi dari mana saya dapat memperoleh pakaiannya?” semua teman-temannya melonjak girang mendengar kesediaan Wina, dan sekaligus berebut menyatakan kesdiaannya untuk mencarikan pakaian.
Menyadari harapan teman-temannya begitu besar Wina jadi serius. Bu Titik yang melatihnya berlenggak-lenggok dibuatnya kagum. “Wina, kau tenyata punya bakat dan kemampuan yang kuat untuk jadi peragawati...” mendengar kekaguman bu Titik ini Wina hanya tersenyum.
Begitu hari H pemilihan Guk dan Yuk tiba, Wina telah siap betul. Sebelumnya tes kecerdasan dan lain sebagainya telah ia lampaui dengan mulus. Hampir seluruh siswa sekolahnya ikut menyaksikan pemilihan itu. Wina ternyata dapat giliran tampil pada urutan yang ke-24. dan, saat Wina tampil seluruh penonton yang memadati Gedung Wanita itu tercekam diam. Mereka pada berdecak kagum. Kharisma kecantikan Wina mampu meredam semua suara. Keadaan sepi dan mencekam itu kemudian meledak menjadi gemuruh oleh suara tepuk tangan begitu Wina mengakhiri penampilannya.
Seperti yang telah diduga oleh penonton, akhirnya Wina oleh dewan juri dinobatkan sebagai pemenang pertama dan sekaligus menyandang juara favorit. Bagi yang memperhatikan akan tahu keganjilan pada diri Wina, ia tidak seperti pemenang-pemenang berikutnya. Mereka menangis haru dan tak kuasa menahan suka cita. Sedang Wina tenang-tenang saja, sepertinya kemenangan itu tak layak disambut dengan kegembiraan. Malah yang menagis Ana dan bu Titik. Kalau saja teman-temannya tidak berebut menyampaikan selamat jelas ia tak ada reaksi apa-apa.
“Wina, kau tak bahagia dengan kemenanganmu?” tanya bu Titik setelah menyadari sikap Wina.
“Saya sangat bahagia, karena bisa memenuhi harapan teman-teman dan ibu...”
“Wina, tapi kau tampak hambar...”
“Saya takut populer, Bu...”
“Kau ini aneh, sementara orang lain ingin populer dan kadang untuk mengejarnya tak segan-segan menempuh jalan yang tercela, kau sendiri malah tidak mau...”
Ah, Wina memang sejak malam itu jadi populer dan temannya bertambah banyak. Pemuda yang ingin mendekatinya juga tidak sedikit. Ia terima semua teman barunya dengan batasan pagar yang dibuatnya sendiri. Dan, secepatnya memberi tanda apabila ada yang menginginkan lebih dari persahabatan.
Salah satu di antara mereka adalah Gatot, cowok sekelasnya yang paling nekat. Ia sering mentang-mentang dan pamer kekayaannya. Pada yang satu ini Wina sudah menolak mentah-mentah, tapi ia bandel. Mulai dari motor Honda sampai mobil Hijet yang dimiliki ayahnya pernah dimanfaatkan untuk merayu Wina. Tapi meski demikian Wina hanya sekali mau dibonceng, itupun dengan pertimbangan tidak mau menyakiti hati teman.
“Wina, ayolah sekali-kali biar tidak terus-terusan naik taxi!” begitu tawaran Gatot saat membawa mobil yang sebetulnya bagi orang lain cukup menyakitkan.
“He, naik taxi banyak seninya, lho...” jawab Wina asal-asalan.
“Seni apa, bau kencing...?”
“He, Tot, kau jangan menghina orang yang nggak punya mobil...”
“Makanya kau sama aku biar tidak tersinggung...”
Sungguh kendati Wina tersinggung dengan omongan Gatot ini dan sangat muak. Tapi semua itu hanya ia endapkan saja. Ia tak ingin menyakiti hati orang lain atau menanam bibit permusuhan pada siapapun. Semua yang pernah terjadi di Jakarta tak perlu ia ulang di sini. Sikap inilah yang membuat Wina sampai pada selesainya ujian dekat bisa tampil menyenangkan di tengah teman-temannya.
Wina telah berhasil dengan baik. Ia sukses dalam bergaul. Ia sukses dalam melebur dosa. Ia sukses dalam studi dan ia sukses dalam melahirkan dirinya sebagai remaja desa yang lugu, polos dan tekun.
Para guru dan temannya semakin akrab dengannya dan semakin kagum kepadanya. Sampai pada saat teman-temannya merencanakan mengadakan rekreasi dalam rangka perpisahan, mereka dibuat terkejut dengan pendapat Wina.
“Kalau teman-teman dan para guru tidak keberatan, rekreasi ini sebaiknya ke Jakarta. Jakarta selain ibukota, tempat-tempat bersejarahnya cukup banyak selain itu fasilitas rekreasinya sangat beragam. Saya tahu, ini biayanya cukup banyak dan hampir mustahil bagi kita. Tapi, maaf, mudah-mudahan teman-teman tidak tersinggung, saya punya simpanan uang di bank yang insya Allah cukup untuk biaya transportasi dan akomodasinya. Uang ini sebetulnya sebagian adalah uang teman-teman sendiri. Kalian tentunya masih ingat dengan pemilihan Guk dan Yuk? Saya saat itu tak akan keluar sebagai pemenang seandainya kalian tidak mendorongku untuk ikut dan membantu menyediakan fasilitasnya. Hadiah tabanas dari sponsor adalah hak teman-teman, karena saya tampil mewakili teman-teman...” Wina mengakhiri pendapatnya dan suasana rapat menjadi berdengung. Tapi pada akhirnya mereka tak mampu menolak tawaran Wina.
Wina ingin mereka tahu Jakarta, tahu ibukota negaranya. Di samping itu biar mereka tahu kehidupan mewah, tahu cara hidup remaja Jakarta kendati sepintas. Sepulangnya nanti ia akan cerita detail tentang Jakarta dan juga dirinya yang pernah dihempaskan sampai menggelepar-gelepar. Pada pokoknya ia ingin menyampaikan bahwa kehidupan desa yang ramah dan penuh kegotong-royongan jauh lebih baik dari kehidupan kota yang egois, keras dan brutal.
Subuh pagi sebuah bis meluncur memasuki Jakarta. Wina memandu sopir bus itu ke arah Kebayoran Baru. Lalu di depan sebuah rumah yang mirip istana di situ ia suruh bis berhenti.
“Nah, kita turun dulu. Mandi-mandi, sholat, sarapan lalu berangkat menuju obyek pertama...” ajak Wina.
“Wina, ini losmennya...?” Bu Titik mengira rumah yang mirip istana itu losmen, sebab Wina yang ditunjuk sebagai ketua panitia seminggu sebelumnya memberi informasi ia telah memboking sebuah losmen.
“Iya, Bu, di sini enak kita bisa gratis...”
“Kok nggak ada tulisannya ?”
“Maaf, Bu, ini rumah Wina...”
Bu Titik kaget, begitu juga Ana yang kebetulan berada di samping Wina.
Sementara itu, dua orang laki perempuan setengah baya dan dua anak laki-laki belasan tahun menyambut mereka. Wina menghambur pada laki dan perempuan yang ternyata ayah dan ibu Wina. Mereka bertiga bertangisan. Sudah hampir dua tahun berpisah dengan anak kesayangannya itu, karena Wina melarang menjenguknya. Pada saat yang sama guru dan teman-teman Wina bingung bercampur haru dan sebagian lagi heran tak percaya kalau Wina yang begitu sederhana itu anaknya orang kaya yang menurut mereka bukan alang-kepalang.
“Ayo, Ana, ajak semuanya masuk dan tak usah sungkan-sungkan...” seru Wina setelah cukup melepas rindunya pada kedua orang tuanya.
Semakin masuk dan semakin mengenal sudut-sudut rumah Wina mereka semakin heran. Apalagi saat mereka ke belakang sebuah taman indah yang cukup luas dan di tengahnya kolam renang yang artistik mereka saksikan. Di sudut tenggara mereka juga menyaksikan beragam anggrek koleksi ibu Wina.
Wina mendekati teman-temannya dengan membawa setumpuk pakaian renang. “Ayo, yang mau berenang pakai ini dan ganti di sana...” kata Wina sambil menaruh pakaian renang itu di bangku fiberglass.
“Wina, kau telah menyusahkan orang tuamu dengan membeli pakaian renang sebanyak ini...” kata Wati sambil memilih-milih pakaian renang itu.
“Ah, tidah, itu milikku sendiri yang dulu kutinggal...”
Seluruh teman-temannya menggeleng-gelengkan kepala. Masak satu orang saja pakaian renangnya sampai setumpuk. Begitu pikir mereka.
Wina meninggalkan mereka dan mendekati Gatot yang saat itu menyendiri dekat dengan sangkar burung beo. Gatot tampak menyembunyikan rasa malu.
“Gatot, kau nggak mandi...?” tanya Wina mengagetkan Gatot.
“Wina, aku malu denganmu dan teman-teman...”
“Memangnya kenapa...?”
“Aku pernah menyakitimu dan ternyata salah alamat...”
“Ah, kau, lupakan saja...”
“Wina, kau sungguh permata yang langka...”
di ruang tamu, ibu Wina matanya terus berkaca-kaca. Haru dan bahagia mendengar kesederhanaan dan kesuksesan Wina di desa.

Syawal, 1414-Maret 1994

sepucuk surat


Malik adikku,
Malam ini begitu sepi kala hasratku menulis surat padamu kusalurkan. Ayah dan ibu telah tidur dalam kenyenyakan orang yang payah. Benakku terpengaruh oleh peristiwa tadi pagi yang menyangkut masalah belajarmu.
Tadi pagi sehabis sarapan, ayah meminta pertimbanganku. Ayah merencanakan menjual tanah sepetak yang ada di sebelah kiri rumah. Katanya untuk biaya sekolahmu. Beberapa saat aku membisu, kupandangi ayah dan ibu bergantian. Di wajah mereka yang keriput tampak rasa sesal dan ketulusan yang dalam. Sejenak aku ingat pemberitahuan Pak Lurah tiga bulan yang lalu, bahwa dua tahun lagi jalan di depan rumah kita akan dibangun, dan kalau hal itu terjadi berarti harga tanah di sekitarnya akan naik berlipat kali. Ah, aku jadi bingung dan tetap membisu, sampai ayah berkata lagi, “Bagaimana pendapatmu?” sekali lagi kupandangi mereka bergantian, tiba-tiba tenggorokanku terasa kering, air mataku menetes, “Aku setuju, ayah...” begitu jawabku lirih yang mungkin mereka tak mendengarnya.
Adikku, aku ingat mendiang kakek kita. Kakek pernah berpesan, “Jangan dijual tanah ini apabila tidak terpaksa dan untuk keperluan yang penting.” Tiba-tiba tangisku meledak sampai ibu ikut-ikutan menangis dan ayah cuma terbengong. Aku menyesali diriku, sejauh ini aku belum bisa membantu mereka. Sebagaimana kau ketahui aku cuma guru TK, yang statusnya tujuh puluh lima persen pengabdian.
Setelah tangisku mereda ayah memberikan suratmu kepadaku. Lalu kubaca suratmu dengan tenggorokan yang kering itu, tiba-tiba bibirku bergetar dan hatiku juga. Tidak adikku! Fisikmu terlalu lemah untuk menarik becak. Memang di mata kami tidak ada pekerjaan yang hina asal halal dan kami sangat menghargai tekadmu, tapi sekali lagi fisikmu terlalu lemah. Kami sudah berterima kasih atas usahamu memberi privat yang HR-nya kau buat bayar kost itu.
Adikku, biarlah kita ikhlaskan saja tanah itu. Apa nilai harta bila dibanding dengan ilmu, dan lagi kurasa hal itu tidak menyalahi wasiat kakek. Kau harus sukses, adikku. Kau harapan satu-satunya ayah dan ibu setelah aku gagal.
Untuk sementara kau harus bersabar. Memang dipanggil ke kantor setiap hari dengan masalah yang itu-itu juga, yakni penagihan uang sekolah yang membosankan dan kadang menjengkelkan. Apalagi kalau sampai tidak boleh mengikuti pelajaran. Kau harus maklum, rupanya pada saat ini itulah cara-cara yang baik untuk menekan murid dan wali murid agar hati-hati terhadap uang sekolah. Dan lagi kadar kebijaksanaan para guru itu berlainan, apalagi sekarang banyak anak-anak yang menyelewengkan kepercayaan orang tua, uang sekolah dihabiskan untuk keperluan lain. Mengkin juga kau dikategorikan anak-anak yang semacam itu. Memang begitulah hukum alam, kerusakan moral selamanya tidak hanya berakibat pada pelakunya.
Aku percaya kau tidak akan mengecewakan harapan orang tua kita. Kau mesti tidak sampai hati menyeleweng apabila melihat ayah yang setua itu dengan tulang-tulang yang rapuh masih saja mencangkul di sawah dan malamnya tak pernah tidur, bermunajat pada Allah, demi kau dan aku. Demi menginginkan anaknya pandai, manfaat bagi agama, nusa dan bangsa. Tapi perlu juga kuingatkan dalam kesempatan ini, agar kau lebih hati-hati hidup di kota. Di kota manusia gampang tergelincir. Tidak jarang pemuda yang mulanya bertujuan mencari ilmu akhirnya jadi copet, yang semula baik-baik akhirnya jadi berandal. Mudah-mudahan Tuhan selalu meridhoi dan membimbingmu.
Adikku, sesekali jangan kau sesalkan kemiskinan ini. Kemiskinan yang selalu menimpa kita untuk jadi orang yang kuat. Kemiskinan yang selalu memaksa kita untuk berkreasi ganda dalam menyambung kehidupan ini dan kemungkinan kemiskinan yang mempunyai beribu hikmah di baliknya. Kendati kita sering dipaksa untuk menahan lapar, haus dan malu olehnya. Anggap saja ini adalah konsekuensi logis orang yang ingin menggapai cita-citanya.
Adikku, ada baiknya kau perbanyak dialog dengan Tuhan di waktu malam. Adukan halmu kepada-Nya. Dia Maha Tahu dan Maha Penolong. Semoga kau diberi ketenangan jiwa, kebersihan hati dan kejernihan otak.
Terakhir maafkan kakakmu. Selamat belajar dan berprestasi. Percayalah pada kemampuanmu.

Kakakmu
Widi Astuti

Bu Titik melipat surat itu setelah menghapus air matanya. Hari ini rupanya hanya ada satu surat yang kena sensor, yaitu surat cinta untuk anak kelas I A IPA.
Bu Titik meminum tehnya, memasukkan surat itu, lalu berdiri, mendekat kepada para guru yang sedang istirahat.
“Pak Amri, keputusan rapat tadi perlu kita tinjau kembali,” kata bu Titik membuat para guru mengalihkan perhatian kepadanya.
“Ada apa, bu?” jawab pak Amri bernada tanya.
“Kalau bapak-bapak dan ibu-ibu tak keberatan, setelah bel pulang nanti kita berkumpul lagi di sini. Ada masalah yang perlu kita bahas. Bagaimana?”
“Baik bu...” jawab pak Amri setelah dapat anggukan dari guru-guru lainnya.
“Terima kasih…” bu Titik tersenyum dan kembali ke kantornya.
*
Bel pulang berbunyi. Sekolah menengah atas ini bonafit kendati swasta, hampir seperempat jam murid-murid yang pulang itu masih mengalir saja.
Bu Titik memasuki ruang istirahat guru. Rupanya guru-guru lainnya sudah menunggu. Kemudian bu Titik menempati kursi yang kosong dengan tenang. Tampak Bu Titik memang wibawa sebagai kepala sekolah, guru-guru lainnya pada diam menunggu apa yang mau disampaikan oleh kepala sekolah itu.
“Begini bapak-bapak dan ibu-ibu, saya mengajak bapak-bapak dan ibu-ibu kembali meninjau keputusan rapat tadi pagi. Di mana setelah melalui berbagai pertimbangan pada rapat kemarin dan pagi tadi kita telah memutuskan bersama, bahwa bintang pelajar untuk tahun ini kita berikan kepada anak didik kita, Eddy, dikarenakan Malik yang semestinya berhak menerima tidak disiplin dalam pembayaran uang sekolah. Ternyata baru saja ada perkembangan. Tadi sewaktu saya menyensor surat ada sebuah surat yang perlu kita jadikan pertimbangan,” bu Titik berhenti dan mengambil surat yang dimakud dari dalam tasnya, lalu diberikan pada pak Gatot, “Tolong, bapak baca dengan keras.”
Pak Gatot membuka surat itu dan kemudian membacanya dengan suaranya yang mantap. Guru-guru lainnya memperhatikan dengan seksama. Bu Sudarwati kelihatan berkaca-kaca matanya lalu satu dua air bening menetes di pipinya. Ia begitu haru mendengar surat itu, ingat tindakannya hari Senin yang lalu, yaitu tidak memperkenankan Malik mengikuti pelajaran karena uang sekolah yang nunggak tiga bulan itu.
Pak Gatot selesai membaca surat itu, suasana hening beberapa saat.
“Bagaimana bapak-bapak dan ibu-ibu, keputusan tadi pagi yang belum kita umumkan itu menurut pandangan bapak-bapak dan ibu-ibu apakah bisa diubah, karena perubahan dengan pertimbangan surat tersebut tidak melanggar kriteria pemilihan bintang pelajar yang sekaligus menerima beasiswa dari sekolah, atau kita tetap pada putusan tadi pagi?” begitu bu Titik menawarkan pada sidang guru.
“Saya rasa bisa diubah, dan kalau perlu sekaligus Malik kita angkat sebagai pelajar teladan...” kata pak Heru memberikan pendapatnya.
“Begitulah, bu, saya rasa semua sependapat...” tambah bu Hermin.
“Bagaimana, apakah begitu?” bu Titik kembali bertanya. Akhirnya semua meng-iya-kan. Dan bubarlah pertemuan kilat itu.
*
Hari ini tanggal 17, sebagaimana biasa sekolah mengadakan upacara bendera. Semua murid telah berbaris rapi dalam kelompok kelasnya masing-masing. Malik yang ada di kelompok kelas II IPA 3 berada di belakang. Ia kelihatan tak bersemangat mengikuti upacara pagi ini. Konsentrasinya tidak pada upacara, tapi pada uang sekolahnya yang dobel tiga bulan. Ia membayangkan setelah selesai upacara nanti dirinya dipanggil kepala sekolah, karena ia berjanji akan melunasi uang sekolahnya pada hari ini dan dirinya sudah kehabisan alasan. Wiwik, teman akrabnya memperhatikan dirinya dari tadi. Ia betul-betul kasihan. Ah, Malik, andai saja yang kau pikirkan cuma pelajaran niscaya kau akan menjadi komputer hidup. Begitu desis Wiwik dalam hati.
“He Lik, sikapmu!” tegur Wiwik melihat Malik salah sikap, mestinya sikap istirahat, tapi Malik tetap tegap.
“Ah, aku pusing, Wik,” jawab Malik sambil membetulkan sikapnya.
“Uang sekolah yang kau pikir?”
“Janjiku hari ini...”
“Tidak usah pusing, pakai saja uangku...”
“Heh, kalian jangan bicara melulu, dengarkan itu amanat kepala sekolah!” tegur Yanto yang merasa terganggu konsentrasinya.
Malik dan Wiwik diam mendengarkan amanat kepala sekolah. Mereka ikut mereka-reka, karena ada pemberitahuan sebelumnya, bahwa dalam upacara ini akan diumumkan bintang pelajar untuk tahun ini. Suasana jadi hening ketika tiba waktunya kepala sekolah mengumumkannya.
“...................... selanjutnya setelah melalui pengamatan dalam setahun ini dan pertimbangan-pertimbangan para guru dalam tiga kali rapatnya, dewan guru memutuskan siswa yang memenuhi kiteria sebagai bintang pelajar untuk tahun ini adalah siswa yang bernama Malik dari kelas II IPA 3. kepadanya sekaligus dinobatkan sebagai pelajar teladan, dan berhak menerima beasiswa dari sekolah...” sampai di sini yang didengar Malik, ia hampir-hampir tak bisa menguasai kegirangannya.
“Lik, selamat!” ucap Wiwik sambil menjabat tangan Malik dan lalu diikuti oleh teman-teman lainnya yang sekelas, hingga barisan kelas II IPA 3 jadi semrawut. Tapi segera baik kembali setelah bu Titik memberi peringatan.
Begitu upacara selesai Malik dipanggil kepala sekolah ke kantor. Ia penuhi panggilan itu dengan langkah lain dari biasanya.
Di otaknya tidak ada rancangan alasan untuk menunda pembayaran uang sekolah sebagaimana biasanya. Ia mengangguk sopan pada bu Titik yang dibalas oleh bu Titik dengan senyum dan anggukan kepala serta isyarat tangannya mempersilakan Malik duduk. Malik menurut.
“Begini Lik, ibu mohon maaf kepadamu. Selama ini ibu telah salah sangka. Dari cara berpakaianmu ibu tak menyangka kau anak orang miskin. Aku kira uang sekolahmu telah kau habiskan sebagaimana yang sering terjadi pada teman-temanmu yang lain,” bu Titik berhenti sejenak, lalu lanjutnya, “Surat dari kakakmu telah ibu baca dan ibu telah memaklumi keadaanmu...” bu Titik membuka laci meja lalu memberikan sepucuk surat pada Malik. Malik menerimanya dengan mata berkaca-kaca.
“Ibu, apakah lantaran surat ini saya jadi bintang pelajar?” tanya Malik dengan suara bergetar.
“Pertimbangan terakhir memang dari surat itu...” jawab bu Titik.
“Ibu, terus terang surat ini saya sendiri yang membuat.”
“Hah?”
“Iya bu, saya yang membuat dan saya pula yang memasukkan ke kotak pos...” pertegas Malik seraya menunjuk stempel pos yang sama kotanya dengan sekolahnya.
“Lantas apa maksudmu?” tanya bu Titik yang mulai berubah ekspresi.
“Yang jelas saya tidak mempunyai maksud menipu. Dan pertimbangan ibu sama sekali tidak salah. Keadaan saya jauh lebih melarat dari gambaran di surat ini. Saya tidak mempunyai ayah dan ibu sedari kecil, bahkan tidak juga saudara, apalagi rumah dan tanah,” Malik berhenti, suaranya mulai parau dan titik-titik being terlihat menetes dari kedua matanya, lalu lanjutnya, “Selama hidup saya tidak pernah menerima sepucuk surat dari satupun orang tua dan saudara. Saya jadi iri kalau ada teman terima surat dari keluarganya. Saya jadi merindukan datangnya surat.” Ia menghapus air matanya. “Ingin saya mendengarkan atau menerima surat yang isinya memberi nasihat kepada saya, memberi dorongan agar saya lebih semangat belajar dan tidak putus asa menghadapi kehidupan yang sebatang kara ini. Suatu malam kerinduan saya pada datangnya surat sudah tak tertahankan, lalu saya putuskan untuk membuat sendiri. Ah, ibu, apakah perlu cerita ini saya teruskan?”
“Perlu dan saya akan mendengarnya dengan baik,” jawab bu Titik yang juga menitikkan air mata.
“Saya tak tahu, bu, kenapa saya menulis surat tentang kemiskinan. Tapi saat itu saya memang sedih, karena paginya saya tidak diperkenankan mengikuti pelajaran. Saya tulis surat itu dengan hati mendidih berontak dan saya iringi dengan air mata...”
“Kenapa kau tidak menceritakan keadaanmu yang sebenarnya?”
“Saya pikir tidak akan ada yang percaya.”
“Maaf Malik, sebenarnya bapak ibumu di mana?”
“Menurut cerita orang mereka menjadi korban gunung meletus, cuma saya yang selamat.”
Keduanya membayangkan letusa gunung yang hebat dengan imajinasi masing-masing. Malik membayangkan kedua orang tuanyan berlari-lari sambil melolong-lolong memanggil dirinya di tengah hujan batu, tiba-tiba ada batu besar yang menggelinding ke arah mereka dan tanpa sadar Malik berteriak keras, “Ibuu!!!” bu Titik tersentak oleh teriakan Malik. Di hadapannya Malik tengkurap di meja tak sadarkan diri. Ketika guru-guru lain datang mereka hanya menyaksikan bu Titik yang menangis sambil menggoncang-goncangkan tubuh Malik.

Sidoarjo, 5 Mei 1983